Namaku Ian Antono. Cerita ini bermula pada waktu itu aku lagi kuliah di semester VI di salah satu PTS di Bandung. Walaupun masih kuliah dan baru berumur 25 tahun aku sudah menikah dengan sesama teman kuliah berumur 24 tahun namanya Ani dan memang dia alim dan tahu diri, sudah dicintai dan nggak bertingkah, aku mencintai istriku yang alim ini sepenuhnya. Waktu itu aku tinggal berdua dengan istriku, kita tinggal serumah atau ngontrak satu rumah untuk berdua. Kebetulan di rumah itu hanya aku dan istriku yang tinggal di situ. Rumah kontrakan kami ada di dekat kampusku tempat aku dan istriku tinggal.
Dekat rumah kontrakan kami ada juga seorang dosen yang tinggal sendirian di situ. Tapi dia mengajar di Universitas lain, Ibu Vivin namanya. Kita semua memanggilnya Ibu karena dia dosen dan sudah berumur 34 tahun tapi belum juga menikah. Hubungan kami dengan Ibu Vivin cukup akrab, lebih-lebih dengan istriku. Maklumlah keduanya sama-sama alim. Ibu Vivin ini juga suka memakai jilbab lebar dan jubah panjang seperti istriku. Entah kenapa seumur itu dia belum juga menikah, padahal Ibu Vivin cukup cantik dengan tinggi 158 cm, rasanya tidak susah dia dapat suami. Selain cantik bodi ibu Vivin juga montok, padat dan sintal. Terus terang kontolku ngaceng bila melihat tubuh montok ibu Vivin, walaupun tertutup rapat dalam jubah dan jilbab lebarnya. Dan aku merasa ibu Vivin tahu kalau aku sering memperhatikannya dan dia juga tertarik padaku walau aku sudah beristri. Apalagi kalau hari libur aku suka jalan-jalan dengan istriku dan ibu Vivin sering ikut serta, dan istriku tidak keberatan kalau ibu Vivin ikut jalan bareng. Karena sering bersama itulah aku jadi ingin ngentot dengan dosen alim itu. Kalau perlu aku jadikan istri keduaku. Tak peduli kalau istriku keberatan. Maka aku mencari-cari kesempatan agar bisa berdua dengan ibu Vivin.
Akhirnya datang juga peluang itu, kebetulan istriku sedang menengok orang tuanya di kampung. Nah, ini kesempatan baik, pikirku. Maka suatu siang aku main ke rumah kontrakan ibu Vivin. Setelah ngobrol-ngobrol ke sana kemari, Ibu Vivin bertanya, ”Eh, kamu akhir-akhir ini kok sering ngelamun sih, ngelamunin apa yok? Jangan-jangan ngelamunin yang itu..”.
”Itu apanya Bu?” ,tanyaku.
Memang dalam kesehari-harianku, ibu Vivin tahu karena aku sering juga curhat sama dia karena dia sudah kuanggap lebih tua dan tahu banyak hal. Tentu tanpa setahu istriku. Aku mulai cerita, ”Tahu nggak masalah yang kuhadapi? Sekarang aku mau cari istri lagi”,kataku.
”Oh.. gitu ceritanya, pantesan aja dari minggu kemarin murung aja dan sering ngalamun sendiri” , kata Ibu Vivin.
Begitu dekatnya aku sama Ibu Vivin sampai suatu waktu aku mengalami kejadian ini. Entah kenapa aku dari sebelum nikah dulu tidak sengaja sudah mulai ada perhatian sama Ibu Vivin.
”Eh Ibu Vivin, nggak ngajar Bu?” ,tanyaku.
”Kamu kok nggak kuliah?” ,tanya dia.
”Habis sakit Bu” , kataku.
”Sakit apa sakit?” ,goda Ibu Vivin.
”Ah.. Ibu Vivin bisa aja” , kataku.
”Sudah makan belum?” .tanyanya.
”Belum Bu, kataku.
”Sudah Ibu Masakin aja sekalian sama kamu ya” , katanya.
Dengan cekatan Ibu Vivin memasak, kita pun langsung makan berdua sambil ngobrol ngalor ngidul sampai-sampai kita membahas cerita yang agak berbau seks. Kukira Ibu Vivin nggak suka yang namanya cerita seks, sebab dia selalu memakai jubah panjang dan jilabab lebarnya, eh tau-taunya dia membalas dengan cerita yang lebih hot lagi. Kita pun sudah semakin jauh ngomongnya. Mungkin dia sudah ngebet pingin punya suami. Tepat saat itu aku ngomongin tentang perempuan yang sudah lama nggak merasakan hubungan dengan lain jenisnya. Maklumlah ibu Vivin adalah perawan tua dan sudah masuk usia kepala tiga.
”Apa masih ada gitu keinginannya untuk itu?” ,tanyaku.
”Enak aja, emangnya nafsu itu ngenal usia gitu?” , katanya.
”Oh kalau gitu Ibu Vivin masih punya keinginan dong untuk ngerasain bagaimana hubungan dengan lain jenis” , kataku.
”So pasti dong” , kata dosen alim itu dengan gairahnya.
”Terus dengan siapa Ibu untuk itu, Ibu kan belum kawin” , dengan enaknya aku nyeletuk.
”Aku bersedia kok!” , kataku lagi dengan sedikit agak cuek sambil kutatap wajahnya. Ibu Vivin agak merah pudar entah apa yang membawa keberanianku semakin membludak dan entah kapan mulainya aku mulai memegang tangannya. Dengan sedikit agak gugup Ibu Vivin kebingungan sambil menarik kembali tangannya, dengan sedikit usaha aku harus merayu terus sampai dia benar-benar bersedia melakukannya. Aku lebih pengalaman dalam urusan seks dari pada dia, sebab aku sudah punya istri, walau ibu Vivin lebih tua dari padaku.
”Okey, sorry ya Bu, aku sudah terlalu lancang terhadap Ibu Vivin”, kataku.
”Nggak, aku kok yang salah memulainya dengan meladenimu bicara soal itu.”, katanya.
Dengan sedikit kegirangan, dalam hatiku dengan lembut kupegang lagi tangannya sambil kudekatkan bibirku ke dahinya. Dengan lembut kukecup keningnya. Ibu Vivin terbawa dengan situasi yang kubuat, dia menutup matanya dengan lembut. Juga kukecup sedikit di bawah kupingnya di balik jilabab lebarnya dengan lembut sambil kubisikkan, ”Aku sayang kamu, ibu Vivin”, tapi dia tidak menjawab sedikitpun.
Dengan sedikit agak ragu juga kudekatkan bibirku mendekati bibirnya. Cup.. dengan begitu lembutnya aku merasa kelembutan bibir itu. Aduh lembutnya, dengan cekatan aku sudah menarik tubuhnya ke rangkulanku, dengan sedikit agak bernafsu kukecup lagi bibirnya. Dengan sedikit terbuka bibirnya menyambut dengan lembut. Kukecup bibir bawahnya, eh.. tanpa kuduga dia balas kecupanku. Kesempatan itu tidak kusia-siakan. Kutelusuri rongga mulutnya dengan sedikit kukulum lidahnya. Kukecup, ”Aah.. cup.. cup.. cup..”, dia juga mulai dengan nafsunya yang membara membalas kecupanku, ada sekitar 10 menitan kami melakukannya, tapi kali ini dia sudah dengan mata terbuka. Dengan sedikit ngos-ngosan kayak habis kerja keras saja.
” Aah.. jangan panggil Ibu, panggil Vivin aja ya!
Kubisikkan Ibu Vivin, ”Vivin kita ke kamarku aja yuk!”.
Dengan sedikit agak kaget juga tapi tanpa perlawanan yang berarti kutuntun dia ke kamarnya. Kuajak dia duduk di tepi tempat tidur. Aku sudah tidak tahan lagi, ini saatnya yang kutunggu-tunggu. Dengan perlahan kubuka jilbab lebarnya dan kacing baju panjangnya satu per satu, dengan lahapnya kupandangi tubuhnya. Ala mak.. indahnya tubuh ini, kok nggak ada sih laki-laki yang kepengin untuk mencicipinya. Dengan sedikit membungkuk kujilati dengan telaten. Pertama-tama belahan gunung kembarnya. ”Ahh.. ssh.. teruskan”, Ibu Vivin tidak sabar lagi, BH-nya kubuka, terpampang sudah buah kembar yang montok ukuran 34 B. Kukecup ganti-gantian, ”Aah.. ssh..” dengan sedikit agak ke bawah kutelusuri karena saat itu dia tepat menggunakan celana pendek di balik jubah panjangnya yang kainnya agak tipis dan celananya juga tipis, kuelus dengan lembut, ”Aah.. aku juga sudah mulai terangsang.”
Kusikapkan celana pendeknya sampai terlepas sekaligus dengan celana dalamnya, hu.. cantiknya gundukan yang mengembang. Dengan lembut kuelus-elus gundukan itu, ”Aah.. uh.. ssh.. Ian kamu kok pintar sih, aku juga sudah nggak tahan lagi”, sebenarnya memang ini adalah pemula bagi aku dengan wanita yang lebih tua usianya, eh rupanya Vivin juga sudah kepengin membuka celanaku dengan sekali tarik aja terlepas sudah celana pendek sekaligus celana dalamku. ”Oh.. besar amat”, kata dosen alim ini dengan gairahnya. Kira-kira 18 cm dengan diameter 2 cm, dengan lembut dia mengelus zakarku, ”Uuh.. uh.. shh..”: dengan cermat aku berubah posisi 69, kupandangi sejenak gundukannya dengan pasti dan lembut. Aku mulai menciumi dari pusarnya terus turun ke bawah, kulumat kewanitaannya dengan lembut, aku berusaha memasukkan lidahku ke dalam lubang kemaluannya, ”Aah.. uh.. ssh.. terus Ian”, Vivin mengerang. ”Aku juga enak Vivin”, kataku. Dengan lembut di lumat habis kepala kemaluanku, di jilati dengan lembut, ”Assh.. oh.. ah.. Vivin terus sayang”, dengan lahap juga kusapu semua dinding lubang kemaluannya, ”Aahk.. uh.. ssh..” sekitar 15 menit kami melakukan posisi 69, sudah kepengin mencoba yang namanya bersetubuh dengan dosen alim yang sudah lama kuincar ini. Kurubah posisi, kembali memanggut bibirnya.
Sudah terasa kepala kemaluanku mencari sangkarnya. Dengan dibantu tangannya, diarahkan ke lubang kewanitaannya. Sedikit demi sedikit kudorong pinggulku, ”Aakh.. sshh.. pelan-pelan ya Ian, aku masih perawan”, katanya. ”Ah aku kaget, benar rupa-rupanya dia masih suci. Dengan sekali dorong lagi sudah terasa licin. Blesst, ”Aahk..” , teriak Vivin, kudiamkan sebentar untuk menghilangkan rasa sakitnya, setelah 2 menitan lamanya kumulai menarik lagi batang kemaluanku dari dalam, terus kumaju mundurkan. Mungkin karena baru pertama kali hanya dengan waktu 7 menit Vivin.. ”Aakh.. ushh.. ussh.. ahhkk.. aku mau keluar Ian”, katanya. ”Tunggu, aku juga sudah mau keluar akh..” , kataku. Tiba-tiba menegang sudah lubang kemaluannya menjepit batang kemaluanku dan terasa kepala batang kemaluanku disiram sama air surganya, membuatku tidak kuat lagi memuntahkan.. ”Crot.. crot.. cret..” , banyak juga air maniku muncrat di dalam lubang kemaluannya. Maklum sudah satu minggu aku nggak ngentot sama istri yang masih di rumah orang tuanya. Nikmat juga memek dosen alim ini dan ada rasa khusus yang istimewa dan memek istriku juga enak tapi ada bedanya. ”Aakh..” , aku lemas habis, aku tergeletak di sampingnya. Dengan lembut dia cium bibirku, ”Kamu menyesal Vin?” ,tanyaku. ”Ah nggak, kitakan sama-sama mau.” Kami cepat-cepat berberes-beres supaya tidak ada kecurigaan, dan sejak kejadian itu aku sering bermain cinta dengan Ibu Vivien hal ini tentu saja kami lakukan jika di rumah sedang sepi, atau di tempat penginapan apabila kami sudah sedang kebelet dan di rumah sedang ramai.
Sejak kejadian itu pada diri kami berdua mulai bersemi benih-benih cinta, dan aku memutuskan untuk menikahi dosen alim yang cantik ini, kini Ibu Vivien menjadi istri keduaku. Untung Ani, istriku, mau memahami dan menerima dengan rela.
__________________
• TAMAT •
0 komentar:
Posting Komentar